Traveltext.id

ISTC SEBAGAI INSTRUMEN PENGONTROL DAMPAK SOSIAL KEPARIWISATAAN

ISTC sebagai Instrumen Pengontrol Dampak Sosial Kepariwisataan

KEMENTERIAN Pariwisata (Kemenpar) memperkenalkan Indonesia Sustainable Tourism Certification (ISTC) sebagai instrumen untuk mengontrol dampak sosial dalam pembangunan kepariwisataan di Tanah Air. 

Peneliti senior bidang kepariwisataan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Drs. Roby Ardiwidjaja, MBIT dalam FGD (Focus Grup Discussion) Analisis PESTEL yang berlangsung belum lama ini mengatakan pemberian sertifikat ISTC menjadi tanda bahwa destinasi pariwisata tersebut sudah menerapkan prinsip-prinsip kepariwisataan berkelanjutan (sustain).

“Pariwisata berkelanjutan mengedepankan unsur sosial dengan melestarian sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat atau 3P; people, planet, prosperity. Destinasi yang mendapat ISTC, kalau dalam dua tahun tidak menjalankan prinsip pelestarian budaya dan lingkungan, bisa langsung dicabut,” ujar Roby Ardiwidjaja

Dikatakan, kebudayaan masyarakat setempat menjadi aset pariwisata, karena wisatawan tertarik berkunjung ke suatu destinasi lantaran ada daya tarik berupa keunikan budaya di dalamnya. Keunikan budaya masyarakat Indonesia masih dapat dijumpai di desa-desa sehingga sangat tepat bila perhatian pembangunan kepariwisataan difokuskan pada desa atau desa wisata yang ada di sekitar desinasi pariwisata.

Sementara itu Dr. Heriyanti Ongkodharma, M.A dari Universitas Indonesia menilai masyarakat pedesaan menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan ‘wajah kebudayaan’ masyarakat Indonesia.

“Pembangunan kepariwisataan harus menjaga dan melestarikan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu diberlakukan ‘Amdal Budaya,’’ katanya. 

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Pudentia, MPSS, MA, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (Pakar Tradisi Lisan) bahwa tradisi lisan sebagai produk kebudayaan masyarakat menjadi salah satu daya tarik pariwisata.

“Tradisi lisan menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Contoh, salah satu keberhasilan sektor pariwisata Malaysia yakni karena sukses menggembangkan tradisi lisan Suku Dayak yang unik dan menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke negara bagian Sabah dan Serawak Malaysia,” ungkapnya.

Sementara Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada menilai, pembangunan pariwisata telah menciptakan perubahaan ekonomi dan ekologi di lingkungan masyarakat.

Ia menilai telah terjadi lompatan terlalu cepat sehingga banyak masyarakat setempat tidak siap dari sebelumnya mereka memiliki budaya berbasis agraris kemudian harus cepat beralih ke budaya industri jasa.

Dalam berbagai kesempatan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menegaskan, pengembangan kepariwisataan berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development (STDev) mengacu pada standar global UNWTO dan GSTC (Global Sustainable Tourism Council).

Dalam standar GSTC mempertimbangkan tiga aspek utama yaitu aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi baik untuk saat ini maupun masa depan dengan pendekatan pada 3P (People, Planet, Prosperity) dan Management.Pendekatan people sebagai upaya pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, sedangkan planet untuk pelestarian lingkungan.

Sementara itu pendekatan prosperity sebagai pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, dan pendekatan manajemen sebagai tata kelola destinasi pariwisata berkelanjutan dengan mengedepankan semboyan “Semakin Dilestarikan, Semakin Menyejahterakan”.

Program STDev diawali dengan Sustainable Tourism Destination (STD), yaitu penerapan konsep pariwisata berkelanjutan di destinasi wisata yang dikerjasamakan dengan Pemda.

Kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Tourism Observatory (STO) yaitu pemantauan beberapa destinasi yang dikerjasamakan dengan 5 universitas yaitu destinasi Sleman (Yogyakarta) bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Pangandaran (Jabar) dengan ITB, Sanur (Bali) bekerja sama dengan Universitas Udayana, Sesaot (NTB) bekerja sama dengan Universitas Mataram, dan Pangururan Samosir (Sumut) bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara.

Sementara itu sustainable tourism certification (STC) merupakan rangkaian akhir dari keseluruhan program STDev tersebut. Asisten Deputi Manajemen Strategis Kementerian Pariwisata Frans Teguh mengatakan, kegiatan FGD (Focus Grup Discusstion) Analisis PESTEL seri ketiga kali ini mengangkat isu sosial dan kepariwisataan.

”Kepariwisataan mempunyai keterkaitan erat dengan isu sosial,” kata Frans Teguh. Ia mengatakan, pada FGD pertama sebelumnya mengangkat isu ‘Teknologi dan Pariwisata’ dan berlanjut pada FGD kedua dengan tema “Lingkungan dan Kepariwisataan”.

FGD kali ini menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, pemerintah, dan pelaku bisnis antara lain Yanuar Nugroho, Ph.D (Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Ekologi, dan Budaya Strategis Kantor Staf Presiden), Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si (Universitas Gadjah Mada), dan Dr. M. Liga Suryadana, M.Si (Direktur Program Pascasarjana STP Bandung).

Selain itu Prof. Dr. Pudentia, MPSS, MA (Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Pakar Tradisi Lisan), Dr. Heriyanti Ongkodharma, M.A  (Universitas Indonesia), dan Drs. Roby Ardiwidjaja, MBIT (Peneliti Kementerian Pariwisata).

Kegiatan FGD hasil kerja sama Kemenpar dengan Litbang Kompas tersebut akan berlangsung dalam enam seri dengan membahas seputar isu PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, & Legal). Dari penyelenggaraan FGD ini diharapkan dapat dikenali, ditangani, serta dilakukan interaksi perubahan dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap sektor pariwisata. [traveltext.id]

Add comment