PERTUMBUHAN bisnis hotel nonbintang dikhawatirkan memberi tekanan terhadap bisnis hotel berbintang, serta memantik persaingan usaha yang tidak sehat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kamar hotel nonbintang pada 2014, 2105, dan 2016 masing-masing mencapai 273.391 unit, 289.727 unit, dan 294.169 unit dengan pertumbuhan sekitar 3,7% per tahun.
Sementara itu, jumlah kamar hotel berbintang pada 2014, 2105, dan 2016 masing-masing mencapai 195.886 unit, 217.474 unit, dan 233.007 unit dengan pertumbuhan sekitar 9% per tahun.
Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Alan Maulana Yusran mengklaim, pertumbuhan bisnis hotel nonbintang memicu iklim persaingan tidak sehat di sektor perhotelan.
Pasalnya, semakin banyak pebisnis hotel berbintang yang beralih menggarap segmen nonbintang, sehingga membuat pemerintah semakin kesulitan mengelola data dan memungut pajak.
“Kompetisi kita itu sekarang dengan hotel nonbintang, seperti apartemen yang diijual sebagai unit akomodasi. Imbasnya adalah tingkat keterisian hotel [berbintang] menjadi tertahan, meski kunjungan cenderung meningkat,” katanya belum lama ini.
Alan berharap pemerintah dapat segera menertibkan segala jenis hotel nonbintang, yang seringkali tidak memiliki tanda daftar usaha pariwisata (TDUP).
“Bahkan, seharusnya pemerintah tidak lagi menerapkan pajak hanya untuk bisnis perhotelan saja, tetapi setiap bisnis akomodasi yang memberikan jasa penginapan dalam jangka pendek,” katanya.
Kendati demikian, Alan menilai pertumbuhan bisnis hotel nonbintang untuk saat ini masih terbilang normal.
Dia berpendapat, menjamurnya hotel nonbintang dipicu oleh semakin tingginya kebutuhan wisatawan yang ingin mengurangi biaya wisata dari segi transportasi dan akomodasi.
Berdasarkan data yang dimilikinya, rerata pengeluaran wisatawan di Indonesia terbagi atas 40% untuk kebutuhan transportasi, 40% untuk akomodasi, dan 20% untuk jalan-jalan, makan, serta membeli oleh-oleh.
“Sekarang mereka sudah menjadi smart traveler, dan mencoba mengefisienkan biaya perjalanan serta memperbesar alokasi dana untuk jalan-jalan,” jelasnya.
Saat dihubungi terpisah, Senior Manager Keuangan PT Jakarta Tourisindo (Jaktour) Bastian mengakui, perusahaannya cukup terpukul dengan keberadaan hotel-hotel nonbintang di sekitar jaringan hotel Jaktour.
Pasalnya, hotel nonbintang menawarkan memberikan harga yang lebih murah. Akibatnya, Jaktour melihat banyak pelanggannya yang mulai beralih ke hotel-hotel nonbintang.
“Sepertinya pebisnis sekarang sudah tidak mementingkan kamar yang mewah, toh juga mereka keluar pagi dan pulang malam. Mereka sudah tidak butuh fasilitas lengkap,” katanya.
Bastian mengatakan, Jaktour saat ini juga tengah berinvestasi di salah satu tempat guna membuka unit apartemen untuk akomodasi penginapan. Dengan begitu, dia berharap perseroannya dapat bersaing dengan bisnis hotel nonbintang lainnya.
Sebagai informasi, Jaktour memiliki 7 jaringan hotel, beberapa di antaranya adalah Grand Cempaka Business, Grand Cempaka Resort dan Hotel D’arcici. Rata-rata okupansi hotelnya mencapai 55% per tahun.
Di sisi lain, Marketing Communications Manager DoubleTree by Hilton Surabaya Riza Ayuningtyas mengatakan, pertumbuhan hotel nonbintang adalah hal yang wajar. Lagipula, hotel-hotel tersebut tumbuh di destinasi-destinasi yang tidak terjangkau oleh hotel berbintang.
Riza menjelaskan, pebisnis hotel berbintang terutama bintang 5 cenderung lambat dan memiliki banyak pertimbangan dalam berinvestasi, yakni mulai dari ketersediaan infrastruktur hingga stabilitas kunjungan.
Adapun, DoubleTree by Hilton memiliki 3 hotel di Indonesia, yakni di Jakarta, Surabaya dan Bali. Tingkat keterisian hotelnya untuk di Jakarta dan Surabaya adalah masing-masing sekitar 55% dan 75% per tahun.
Sementara Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari sebelumnya menuturkan, prospek bisnis perhotelan di Indonesia mengalami tekanan dalam beberapa tahun terakhir akibat maraknya bisnis Airbnb dan homestay.
“Mereka [wisatawan] ini memilih menginap di homestay dan Airbnb karena selain murah, mereka bisa merasakan bagaimana tinggal di daerah karena berbaur dengan penduduk lokal,” ujarnya.
Optimistis
Ditemui pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua PHRI Rainer H. Daulay optimistis bisnis perhotelan secara nasional masih bisa tumbuh 10%—20% hingga akhir tahun ini, meskipun iklim usahanya jauh lebih berat dibandingkan dengan tahun lalu.
Saat ini, lanjutnya, kalangan pengusaha perhotelan lebih mengandalkan restoran dan ruangan pertemuan untuk menopang bisnis mereka. Sepanjang tahun lalu, bisnis perhotelan hanya bertumbuh pada kisaran 5%—10%.
Menurutnya, jumlah kamar hotel di Tanah Air terus bertambah tetapi jumlah tamu yang menginap tidak bertambah.
“Apalagi, dengan adanya bencana alam baik di Lombok, Palu, maupun Manado plus berbagai rumor dan hoaks yang menyeramkan, tentu membuat wisatawan mancanegara ragu ke Indonesia dan juga membuat wisatawan nusantara enggan bepergian,” ungkapnya.
Begitu pula Ketua PHRI Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Abdul Hadi Faesal menuturkan, prospek bisnis hotel di Lombok hingga akhir tahun hanya diperkirakan tumbuh sebesar 5%. Hal ini dikarenakan adanya gempa Lombok dan proses pemulihan yang membutuhkan waktu.
“Hotel di Mataram yang tak terdampak signifikan mulai berbenah dan menunjukkan peningkatan hunian. Santika dan Aston, misalnya, beberapa malam terahir ini sudah mendapatkan hunian di atas 70%, begitu juga DMax di sekitar bandara yang beberapa hari terahkir okupansinya mencapai 78%,” tuturnya.
Dia pun optimistis akhir tahun ini bisnis perhotean akan terus meningkat seiring dengan mulai menggeliatnya pariwisata di Nusa Tenggara Barat.
“Setelah gempa, beberapa investor di Trawangan melanjutkan programnya. Apalagi di Mandalika, semua hotel bintang lima akan terus jalan,” ucap Hadi. [bisnis.com/photo special]
Add comment