DAERAH Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memiliki segudang potensi pariwisata. Kawasan Kota Tua bisa dibilang sebagai salah satu paket wisata lengkap. Namun kawasan wisata ini perlu berdandan agar diminati banyak wisatawan baik domestik maupun asing.
Wisatawan Kota Tua bisa menikmati suasana tempo dulu dengan bangunan-bangunan bergaya kolonial. Kota Tua pun merupakan kawasan museum, pengunjung dapat belajar sejarah antara lain di museum Fatahillah, museum Bank Indonesia (BI), museum Wayang, museum Bank Mandiri, museum Seni Rupa dan Keramik, dan museum Bahari.
Dari sisi aksesibilitas, Kota Tua mudah diakses dengan menggunakan transportasi umum seperti Trans Jakarta dan Kereta Commuter Line. Daya tarik Kota Tua nampaknya cukup seksi bagi pengunjung.
Berdasarkan data Badan Pembangunan Perencanaan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta jumlah pengunjung Museum di Kota Tua tahun 2017 mencapai 1.541.305 orang dengan rata-rata kunjungan per hari 4.862 orang.
Lebih rinci, kontribusi wisatawan nusantara (wisnu) 1.490.522 orang dan wisatawan mancanegara yakni 50.783 orang. Sehingga total pendapatan Kota Tua mencapai Rp5,137 miliar.
Pencapaian tersebut naik bila dibanding dengan pengunjung tahun 2016 sebesar 1.419.536 orang dan rata per hari sekitar 4.862 orang. Dengan wisnu sebanyak 1.383.659 dan wisman 35.877 orang. Sementara pendapatan 2016 di level Rp4,731 miliar.
Menurut Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua DKI Jakarta, Novianto Setio Husodo, mengatakan, belum bisa memberikan jumlah pengunjung Kota Tua pada 2018, yang pasti selalu tumbuh. Pihak kamimengaku terus mengembangkan pariwisata Kota Tua lewat event di kota tua, festival tempo doeloe, festival kuliner jadul, pembinaan karakter komunitas, dan lain sebagainya.
“Di sisi lain, pariwisata Kota Tua bukan hanya di sekitar Museum Fatahillah dan museum lainnya saja. Namun, sejumlah kawasan patut dikembangkan, agar ranah pariwisata Kota Tua semakin besar. Saat ini tengah mengembangkan potensi pariwisata Kota Tua agar pertumbuhan jumlah pengunjung tetap terjaga. Pengembangan yang dimaksud lewat destinasi berdasarkan karakteristik kawasan,” katanya.
Dikatakan, misalnya, Glodok sebagai kampung etnis China, Pekojan kampung Arab, dan kawasan pesisir Sunda Kelapa. Potensi kawasan ini cukup menarik wisatawan baik wisatawan domestik dan manca negara. Di sisi lain, Kota Tua perlu berbenah diri, sebab sejumlah tantangan masih dihadapi. Mudahnya aksesibilitas di kawasan Kota Tua sekaligus ancaman untuk kelancaran lalu lintas.
Selain itu, pengetahuan pemilik/pengelola terhadap cagar budaya harus dikembangkan. Kurangnya pemahaman pemilik cagar budaya akibat belum disosialisasikan-nya dengan baik dan sistematis panduan pemeliharaan bangunan cagar budaya sesuai kaidah pelestarian cagar budaya.
Belajar dari Yogyakarta
Guna mengembangkan potensi pariwisata Kota Tua, nampaknya UPK Kota tua harus mencontoh Yogyakarta. Pariwisata di Kota Gudeg menonjolkan keunikan karakter lokal masing-masing kawasan budaya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada (UGM), Amiluruh Soeroso, mengatakan, keunikan yang ditonjolkan Yogyakarta berdasarkan pada nilai sejarah, sosial budaya, dan arsitektural yang dimiliki oleh setiap kawasan.
“Wisatawan lokal dan manca negara terus bertambah tiap tahunnya di Yogyakarta. Dalam kegiatannya, saat sampai di Yogyakarta biasanya pelancong terlebih dahulu berkunjung ke daerah pinggiran Yogyakarta seperti bagian pesisir hingga kawasan candi di Magelang,” ungkapnya.
Kemudian, wisatawan kembali lagi ke kota dan berputar di area Malioboro dan lain-lain. Berdasarkan Data Dinas Kepariwisataan DIY Yogyakarta, tentang jumlah obyek wisata pada tahun 2017 yang meliputi obyek wisata alam, obyek wisata budaya, obyek wisata buatan, dan desa/kampung wisata adalah sebanyak 131 obyek Wisata.
Keseluruhan kunjungan wisman ke obyek-obyek wisata tersebut sebanyak 601.781 orang. Sedangkan wisnu mencapai 25.349.012 orang. Sehingga total wisatawan DIY Yogyakarta per 2017 mencapai 25.950.793 orang.
Begitu pula Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi DKI Jakarta, Hamid Ponco Wibowo, mengatakan Kota Tua perlu banyak mencermati konsep pariwisata Yogyakarta. Kota Tua bisa belajar bagaimana Malioboro menciptakan branding bagus dan bisa menarik wisatawan untuk berkunjung kembali ke sana. Di sisi lain, pariwisata Yogyakarta terasa empuk dengan adanya bakpia. Makanan atau oleh-oleh khas itu menjadi daya tarik wisatawan dan sudah jadi semacam kewajiban pelancong. Sementara, di Kota Tua belum ada makanan yang mempunyai branding sekuat bakpia.
Dosen Pariwisata dan Founder Akademi Kuliner Indonesia sekaligus Pengamat Kuliner, Heni Pridia, mengatakan, kalau bicara soal oleh-oleh terkait dengan ketahanan makanan untuk bisa dibawa bepergian atau dibawa pulang cocok dengan karakteristik makan kering atau snack.
Oleh karena itu, Heni menyarankan agar pariwisata Kota Tua bisa mengangkat makanan kering atau snak asli Jakarta seperti Kembang Goyang, Akar Kelapa, atau Kue Bangket.
“Semua itu bisa jadi bakpia-nya Jakarta, karena tahan lama hanya branding dan inovasi saja yang perlu dikejar,” kata Heni. [kontan.co.id/photo special]