SEBANYAK tiga provinsi yakni Riau, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sebagai proyek percontohan Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) Daerah. Tiga provinsi tersebut dinyatakan telah memiliki kesiapan untuk menjadi tiga daerah awal untuk dilakukan pembentukan MKK Daerah.
Menurut Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar, Guntur Sakti mengatakan ketiga daerah tersebut dipilih karena memiliki komitmen besar terhadap sektor pariwisata dari mulai kepala daerah yang masing-masing punya potensi krisis yang beragam serta secara geografis mewakili tiga regional destinasi di Indonesia.
“Jawa Barat dan Lombok misalnya, keduanya merupakan destinasi pariwisata yang memiliki potensi bencana alam cukup besar, khususnya gempa. Sementara Riau dikenal memiliki karakteristik bencana yang unik, yaitu kabut asap, yang tidak menimbulkan kerusakan fisik pada destinasi wisata tetapi mengganggu penerbangan yang menyebabkan pembatalan grup wisatawan berkunjung ke Riau,” ujarnya.
Dikatakan, manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) fokus pada upaya mitigasi (40%) dan strategi kehumasan (60%). Keberadaan MKK di daerah dapat menjadi perpanjangan tangan Kementerian Pariwisata yang saat ini tidak memiliki struktur komando horizontal langsung dengan dinas di daerah.
MKK Daerah diharapkan dapat menjadi tangan pertama bagi pemerintah pusat untuk menjangkau keadaan krisis yang saat itu sedang terjadi di daerah.
“Kita menyadari bahwa banyak daerah di Indonesia yang memiliki potensi untuk menjadi destinasi pariwisata. Namun, bagaimana cara kita menangani situasi krisis sehingga destinasi wisata tersebut bisa segera pulih setelah terdampak bencana, itulah yang perlu kita lakukan bersama,” katanya.
Ditambahkannya, pembentukan MKK Daerah perlu dukungan dari pemda setempat berupa ketersediaan personel yang memiliki pengetahuan tentang penanganan krisis serta ketersediaan ruang dengan peralatan yang memadai sebagai Command Centre. Selain itu, diperlukan anggaran khusus, seperti untuk membiayai program mitigasi bencana dan kesekretariatan.
“Untuk itu, Kementerian Pariwisata telah menerbitkan Permenpar Nomor 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, Buku Panduan Manajemen Krisis Kepariwisataan, Buku Saku Manajemen Krisis Kepariwisataan, SOP Pengelolaan Krisis Kepariwisataan, motion graphic, dan aplikasi geospasial untuk dapat digunakan sebagai payung hukum, pedoman, dan alat dalam pelaksanaan MKK di daerah,” ungkap Guntur.
Dijelaskannya kembali, tiap daerah mempunyai karakter bencana yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Kemenpar tidak akan membatasi aspek regulasi dan standar peralatan, tetapi menekankan bahwa struktur organisasi MKK/TCC (tourism crisis center) diketuai oleh Kepala Dinas Pariwisata.
Mengenai kesiapan NTB, Kepala Dinas Pariwisata NTB, Lalu M. Faozal, mengatakan bahwa pihaknya akan memperkuat koordinasi dan pola kerja lintas pihak, khususnya dalam penanganan krisis kepariwisataan yang berpotensi terjadi di NTB. Latar belakang NTB sebagai lokasi wisata yang pernah mengalami bencana alam dan berusaha pulih pasca bencana dalam waktu yang relatif singkat menjadi catatan penting.
“Pasca gempa bumi NTB pada 2018, pihak asing selalu menanyakan apakah NTB sudah punya disaster management. TCC perlu mengadakan simulasi atau tactical floor game, terutama untuk melatih alur koordinasi informasi krisis,” kata Faozal.
Setelah NTB, pembentukan MKK Daerah juga akan dilakukan di Riau dan Jawa Barat. Sama seperti pelaksanaan di NTB, pelaksanaan (Forum Group Discussion) FGD yang akan dilakukan di Riau dan Jawa barat juga akan menegaskan komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk membentuk MKK Daerah dan melaksanakan kegiatan di tiap fase krisis sesuai dengan pedoman yang tertuang dalam Permenpar. [traveltext.id]