PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Bali resmi melarang pementasan tari sakral Bali di luar kegiatan upacara adat masyarakat Hindu Bali.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Bali, I Wayan Kun Adnyana mengatakan langkah ini dilakukan menyusul semakin banyaknya seni tari sakral yang banyak bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersialisasi.
“Fenomena tersebut menimbulkan keresahan dan keprihatinan di masyarakat terutama bagi para seniman, budayawan, pemuka adat karena bisa melunturkan nilai-nilai kesakralan, memudarnya keutuhan seni, aura magis, muatan taksu budaya Bali,” ujarnya.
Dikatakan, jadi upaya ini sebagai upaya untuk memberikan penguatan dan perlindungan terhadap tari sakral Bali. Surat keputusan bersama tersebut diketahui total ada 127 jenis tarian yang dilarang, namun kedepan tidak menutup kemungkinan bisa bertambah lagi sesuai dengan usulan masyarakat.
Sementara Gubernur Bali Wayan Koster menyebutkan seni budaya yang ada di Bali bukan seni biasa, melainkan berakar dari karya yang diciptakan untuk kepentingan upacara. Di mana kepentingan agama dan upakara agama dijalankan dengan satu tradisi adat istiadat yang juga diisi dengan unsur seni.
“Itulah kelebihan kita di Bali, ada gamelan serta tarian. Tariannya bersifat sakral karena dipentaskan saat ada upacara agama. Masyarakat juga perlu memahami pentingnya hal ini, dan memang harus dijaga bersama kesakralannya, sebagai suatu karya kreatif yang dibuat untuk upacara keagamaan, adat, agama dan budaya dalam satu kesatuan,” kata Wayan Koster.
Ditambahkannya, saya menampik bahwa langkah ini sebagai upaya untuk mengekang kreativitas, seniman yang ada di Bali. Silahkan berkreasi dengan berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda. Ini semata-mata untuk kepentingan penguatan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut. Mudah-mudahan ini jadi langkah penting kita untuk memajukan kebudayaan di Bali.
Sementara itu, rektor institut seni indonesia (ISI) Denpasar I Gede Arya Sugiartha menyebut daftar tarian yang disakralkan tersebut sudah melalui kajian antara lain melibatkan tim dari ISI Denpasar, dinas Kebudayaan provinsi Bali serta majelis pertimbangan dan pembinaan kebudayaan (Listibya) Bali.
Sugiarta menuturkan, kedepan tetap diperlukan kegiatan sosialisasi terkait kesepakatan ini agar tidak terjadi salah pemahaman masyarakat. Sekali lagi ini bukan mengekang kreativitas, namun upaya untuk mendudukkan seni sakral ini di tempat yang semestinya. Unsur nilainya bisa berkembang lagi di masyarakat.
“Pendataan tarian sakral yang disusun tersebut berdasarkan kepada rumusan di tahun 1971 dengan klasifikasi bertajuk ‘Wali, Bebali dan Bali-Balihan’ yang diartikan sebagai wali (sakral) atau bebali (upacara) dan balih-balihan (hiburan). Tari wali dan bebali dapat ditarikan di tempat dan waktu tertentu. Tari wali dipentaskan di halaman bagian dalam pura dan tari bebali di halaman tengah sehingga dapat dikategorikan sebagai tarian sacral,” ungkap Arya Sugiartha.
Dijelaskannya kembali, sebaliknya tari balih-balihan ditarikan di halaman luar pura dalam acara yang bersifat hiburan lebih ditekankan kepada sisi artistiknya dan bisa dipentaskan di tempat lain, untuk pariwisata dan lainnya. Istilah ‘Wali, Bebali dan Bali-Balihan’ tersebut sudah dienkripsi oleh UNESCO sehingga wajib adanya untuk dilestarikan dan dijaga lebih kuat terhadap perubahan-perubahan zaman. [antaranews/photo special]