ARTIFICIAL Intelligence dinilai sebagai salah satu teknologi yang patut diantisipasi perkembangannya oleh para pelaku ekonomi kreatif (ekraf) karena dapat memberi banyak kemudahan, terutama dalam mengkonstruksi data untuk diterjemahkan ke dalam karya yang disukai banyak orang.
Menurut Ari Juliano Gema, Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi dan Regulasi Kemenparekraf mengatakan pada umumnya Artificial Intelligence merupakan disiplin ilmu komputer yang ditujukan untuk mengembangkan mesin dan sistem yang dapat melakukan tugas yang dianggap membutuhkan kecerdasan manusia.
Ia memberi contoh beberapa karya dari AI yang begitu menakjubkan. Diantaranya The Next Rembrandt, yakni sebuah proyek iklan yang dipesan oleh ING Bank kepada J. Walter Thompson, sebuah biro periklanan pada 2016. Proyek AI ini menganalisis 346 lukisan karya Rembrandt van Rijn, pelukis Belanda yang juga dikenal sebagai pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa.
“Hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa jika Rembrandt masih hidup saat ini, kemungkinan besar ia akan melukis seorang pria berusia 30-40 tahun, memakai baju hitam dan topi, serta posisi wajah dari sisi kanan. Iklan tersebut kemudian memenangkan lebih dari 60 penghargaan periklanan,” kata Ari Juliano.
Selain itu, lanjutnya, program artificial Intelligence juga telah memungkinkan untuk membuat sebuah novel. Contohnya novel yang diciptakan melalui sebuah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Hitoshi Matsubara dan timnya di Future University Hakodate, Jepang. Novel dari hasil AI tersebut kemudian diikutkan dalam lomba, bersaing dengan novel-novel terbaik di Jepang dan hampir memenangkan lomba tersebut.
“Atau program dari BOTNIK, dimana program AI ini menganalisis tujuh novel Harry Potter mulai dari gaya penulisan dan lainnya, hingga akhirnya program AI ini bisa menghadirkan buku lanjutan novel Harry Potter. Novel Harry Potter sudah tamat, namun menggunakan AI dapat menganalisis 7 novel Harry Potter dan muncullah novel buatan BOTNIK yang orang-orang mengapresiasi dan tidak menyangka bahwa novel tersebut dibuat melalui sebuah program AI,” ungkap Ari.
Ditambahkannya, ibarat dua sisi mata uang, kemajuan teknologi ini selain menawarkan banyak kemudahan sekaligus dapat memberi ancaman bagi para pelaku ekonomi kreatif dari sisi orisinalitas dan hak cipta. Di sinilah diperlukan antisipasi bersama dari seluruh pemangku kepentingan ekonomi kreatif untuk dapat mendorong hadirnya produk hukum yang dapat melindungi para pelaku ekonomi kreatif ke depannya.
“Masalahnya ketika AI itu yang mengandung “DNA” dari karya orang lain digunakan oleh orang yang tidak berhak, dalam hal ini bukan pencipta dan bukan pemegang hak cipta, tentu akan bermasalah ketika dia menghasilkan sebuah karya,” kata Ari.
Untuk itu perlu diatur dengan jelas seberapa besar keterlibatan seseorang yang memakai aplikasi artificial Intelligence untuk menghasilkan sebuah karya dalam merancang, membuat, memimpin dan mengawasi, pembuatan karya tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai pencipta karya tersebut menurut UU Hak Cipta.
Asosiasi atau organisasi pelaku ekraf pun didorong untuk membuat panduan mengenai batasan kemiripan substansial atas suatu karya di bidangnya masing-masing. Sehingga dapat mengantisipasi karya yang dibuat aplikasi AI dari “DNA” karya-karya yang sudah ada.
“Sehingga hasil apapun yang ada di pasar baik dari pribadi ataupun artificial Intelligence sudah dapat diklasifikasi apakah melanggar hak cipta atau tidak. Kita harus dapat merespons perkembangan teknologi khususnya yang mendorong inovasi ekonomi digital, sehingga nantinya kita tidak ketinggalan jauh dari perkembangan teknologi dalam membuat kebijakan hukum dan regulasi. Segala hal soal dampak positif dan negatif dapat diantisipasi dengan adanya produk hukum yang melindungi dari dekat,” tuntas Ari. [traveltext.id/photo special]